Sama halnya dengan versi aslinya, yaitu versi Mahabharata, perang Baratayuda merupakan puncak perselisihan antara keluarga Pandawa yang dipimpin oleh Puntadewa (atau Yudistira) melawan sepupu mereka, yaitu para Korawa yang dipimpin oleh Duryudana.
Akan tetapi versi pewayangan
menyebut perang Baratayuda sebagai peristiwa yang sudah ditetapkan kejadiannya
oleh dewata. Konon, sebelum Pandawa dan Korawa dilahirkan, perang ini sudah
ditetapkan akan terjadi. Selain itu, Padang
Kurusetra sebagai medan pertempuran menurut pewayangan bukan
berlokasi di India,
melainkan berada di Jawa.
Dengan kata lain, kisah Mahabharata menurut tradisi Jawa dianggap
terjadi di Pulau Jawa.
Bibit perselisihan antara Pandawa
dan Korawa dimulai sejak orang tua mereka masih sama-sama muda. Pandu, ayah para Pandawa
suatu hari membawa pulang tiga orang putri dari tiga negara, bernama Kunti, Gendari,
dan Madrim.
Salah satu dari mereka dipersembahkan kepada Dretarastra,
kakaknya yang buta. Dretarastra memutuskan untuk memilih Gendari, sehingga
membuat putri dari Kerajaan Plasajenar itu tersinggung dan sakit
hati. Ia pun bersumpah keturunannya kelak akan menjadi musuh bebuyutan
anak-anak Pandu.
Gendari dan adiknya, bernama Sengkuni,
mendidik anak-anaknya yang berjumlah seratus orang untuk selalu memusuhi
anak-anak Pandu. Ketika Pandu meninggal, anak-anaknya semakin menderita. nyawa
mereka selalu diincar oleh sepupu mereka, yaitu para Korawa. Kisah-kisah
selanjutnya tidak jauh berbeda dengan versi Mahabharata, antara lain
usaha pembunuhan Pandawa dalam istana yang terbakar, sampai perebutan Kerajaan
Amarta melalui permainan dadu.
Akibat kekalahan dalam perjudian
tersebut, para Pandawa harus menjalani hukuman pengasingan di Hutan Kamiyaka
selama 12 tahun, ditambah dengan setahun menyamar sebagai orang rakyat jelata
di Kerajaan Wirata. Namun setelah masa hukuman
berakhir, para Korawa menolak mengembalikan hak-hak para Pandawa. Keputusan
inilah yang membuat perang Baratayuda tidak dapat dihindari lagi.