Wayang merupakan kesenian tradisional Jawa yang sangat terkenal. Disamping
terdapat kesenian lain seperti: seni musik (gamelan), seni suara, seni pahat,
seni peran, seni tutur, seni lukis, dan seni sastra. Wayang merupakan gabungan
dari seni tutur, seni peran, seni musik, seni lukis dan seni sastra. Bahkan
oleh UNESCO wayang diakui sebagai warisan kebudayaan dunia. Pertunjukan wayang
adalah seni pertunjukan yang sarat dengan nialai filosofi kehidupan orang Jawa.
Pertunjukan wayang pada zaman dahulu selain sebagai hiburan juga menjadi media
pengajaran tentang falsafah hidup orang Jawa. Falsafah mengenai hubungan
manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia
dengan alam.
Menurut penelitian para ahli sejarah kebudayaan, budaya wayang merupakan
budaya asli Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Keberadaan wayang sudah
berabad-abad sebelum agama Hindu masuk ke Pulau Jawa. Walaupun cerita wayang
yang populer di masyarakat masa kini merupakan adaptasi dari karya sastra
India, yaitu Ramayana dan Mahabarata. Kedua induk cerita itu dalam pewayangan
banyak mengalami pengubahan dan penambahan untuk menyesuaikannya dengan
falsafah asli Indonesia
Ada dua pendapat yang menyebut asal usul-usul wayang. Pendapat pertama
menyebut wayang berasal dari Pulau Jawa,
tepatnya Jawa Timur. Pendapat ini selain dianut dan dikemukakan oleh para
peneliti dan ahli-ahli bangsa Indonesia, juga merupakan hasil penelitian
sarjana-sarjana Barat. Di antara para sarjana Barat yang termasuk kelompok ini,
adalah Hazeau, Brandes, Kats, Rentse, dan Kruyt.
Alasan mereka cukup kuat. Di antaranya, bahwa seni wayang masih amat
erat kaitannya dengan keadaan sosiokultural dan religi bangsa Indonesia,
khususnya orang Jawa. Panakawan, tokoh terpenting dalam pewayangan, yakni
Semar, Gareng, Petruk, Bagong, hanya ada dalam pewayangan Indonesia, dan tidak
di negara lain. Selain itu, nama dan istilah teknis pewayangan, semuanya berasal
dari bahasa Jawa (Kuna), dan bukan bahasa lain
Sementara itu, pendapat kedua menduga wayang berasal dari India, yang
dibawa bersama dengan agama Hindu ke Indonesia. Mereka antara lain adalah
Pischel, Hidding, Krom, Poensen, Goslings, dan Rassers. Sebagian besar kelompok
kedua ini adalah sarjana Inggris, negeri Eropa yang pernah menjajah India. Namun,
sejak tahun 1950-an, buku-buku pewayangan seolah sudah sepakat bahwa wayang
memang berasal dari Pulau Jawa, dan sama sekali tidak diimpor dari negara lain.
Kesenian wayang diperkirakan sudah lahir di Indonesia setidaknya pada
zaman pemerintahan Prabu Airlangga, raja Kahuripan (976 -1012), yakni ketika
kerajaan di Jawa Timur itu sedang makmur-makmurnya. Karya sastra yang menjadi
bahan cerita wayang sudah ditulis oleh para pujangga Indonesia, sejak abad X.
Antara lain, naskah sastra Kitab Ramayana Kakawin berbahasa Jawa Kuna ditulis
pada masa pemerintahan raja Dyah Balitung (989-910), yang merupakan gubahan
dari Kitab Ramayana karangan pujangga India, Walmiki. Selanjutnya, para
pujangga Jawa tidak lagi hanya menerjemahkan Ramayana dan Mahabarata ke bahasa
Jawa Kuna, tetapi menggubahnya dan menceritakan kembali dengan memasukkan
falsafah Jawa kedalamnya. Contohnya, karya Empu Kanwa Arjunawiwaha Kakawin, yang
merupakan gubahan yang berinduk pada Kitab Mahabarata. Gubahan lain yang lebih
nyata bedanya derigan cerita asli versi India, adalah Baratayuda Kakawin karya
Empu Sedah dan Empu Panuluh. Karya agung ini dikerjakan pada masa pemerintahan
Prabu Jayabaya, raja Kediri (1130 - 1160).
Wayang sebagai suatu pergelaran dan tontonan pun sudah dimulai ada sejak
zaman pemerintahan raja Airlangga. Beberapa prasasti yang dibuat pada masa itu
antara lain sudah menyebutkan kata-kata "mawayang" dan `aringgit'
yang maksudnya adalah pertunjukan wayang.
Mengenai saat kelahiran budaya wayang, Ir. Sri Mulyono dalam bukunya
Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang (1979), memperkirakan wayang sudah ada
sejak zaman neolithikum, yakni kira-kira 1.500 tahun sebelum Masehi. Pendapatnya
itu didasarkan atas tulisan Robert von Heine-Geldern Ph. D, Prehistoric
Research in the Netherland Indie (1945) dan tulisan Prof. K.A.H. Hidding di
Ensiklopedia Indonesia halaman 987.
Kata `wayang' diduga berasal dari kata `wewayangan', yang artinya
bayangan. Dugaan ini sesuai dengan kenyataan pada pergelaran Wayang Kulit yang
menggunakan kelir, secarik kain, sebagai pembatas antara dalang yang memainkan
wayang, dan penonton di balik kelir itu. Penonton hanya menyaksikan
gerakan-gerakan wayang melalui bayangan yang jatuh pada kelir. Pada masa itu
pergelaran wayang hanya diiringi oleh seperangkat gamelan sederhana yang
terdiri atas saron, todung (sejenis seruling), dan kemanak. Jenis gamelan lain
dan pesinden pada masa itu diduga belum ada.
Untuk lebih menjawakan budaya wayang, sejak awal zaman Kerajaan
Majapahit diperkenalkan cerita wayang lain yang tidak berinduk pada Kitab
Ramayana dan Mahabarata. Sejak saat itulah ceritacerita Panji; yakni cerita
tentang leluhur raja-raja Majapahit, mulai diperkenalkan sebagai salah satu
bentuk wayang yang lain. Cerita Panji ini kemudian lebih banyak digunakan untuk
pertunjukan Wayang Beber. Tradisi menjawakan cerita wayang juga diteruskan oleh
beberapa ulama Islam, di antaranya oleh para Wali Sanga. Mereka mulai mewayangkan
kisah para raja Majapahit, di antaranya cerita Damarwulan.
Masuknya agama Islam ke Indonesia sejak abad ke-15 juga memberi pengaruh
besar pada budaya wayang, terutama pada konsep religi dari falsafah wayang itu.
Pada awal abad ke-15, yakni zaman Kerajaan Demak, mulai digunakan lampu minyak
berbentuk khusus yang disebut blencong pada pergelaran Wayang Kulit.
Sejak zaman Kartasura, penggubahan cerita wayang yang berinduk pada
Ramayana dan mahabarata makin jauh dari aslinya. Sejak zaman itulah masyarakat
penggemar wayang mengenal silsilah tokoh wayang, termasuk tokoh dewanya, yang
berawal dari Nabi Adam. Sisilah itu terus berlanjut hingga sampai pada
raja-raja di Pulau Jawa. Dan selanjutnya, mulai dikenal pula adanya cerita
wayang pakem. yang sesuai standar cerita, dan cerita wayang carangan yang
diluar garis standar. Selain itu masih ada lagi yang disebut lakon sempalan,
yang sudah terlalu jauh keluar dari cerita pakem.
Memang, karena begitu kuatnya seni wayang berakar dalam budaya bangsa
Indonesia, sehingga terjadilah beberapa kerancuan antara cerita wayang,
legenda, dan sejarah. Jika orang India beranggapan bahwa kisah Mahabarata serta
Ramayana benar-benar terjadi di negerinya, orang Jawa pun menganggap kisah
pewayangan benar-benar pernah terjadi di pulau Jawa.
0 komentar:
Posting Komentar