Seni memainkan wayang yang biasa disebut pagelaran, merupakan kombinasi
harmonis dari berbagai unsur kesenian. Pada pagelaran wayang kulit dituntut
adanya kerjasama yang harmonis baik unsur benda mati maupun benda hidup
(manusia). Unsur benda mati yang dimaksud adalah sarana dan alat yang digunakan
dalam pagelaran wayang kulit. Sementara unsur benda hidup (manusia) adalah orang-orang yang berperan penuh dalam
seni pagelaran wayang kulit.
1. Unsur Benda
Unsur benda yang ada dalam pagelaran wayang
kulit adalah alat-alat yang berupa benda tertentu yang digunakan dalam
pagelaran wayang tersebut. Bahkan terdapat unsur materi yang harus ada (karena
tidak bisa digantikan). Unsur materi yang dimaksud antara lain: wayang yang
terbuat dari kulit lembu, kelir, debog (batang pohon pisang),
seperangkat gamelan, keprak,kepyak, kotak wayang, cempala, dan blencong.
Seperangkat alat tersebut harus ada, karena alat-alat tersebut tidak bisa
digantikan. Akan tetapi pada perkembangan zaman ada modifikasi atau pengubahan
yang bibuat berdasar kebutuhan atau kreatifitas seniman, namun keberadaan
wayang dan kelir tidak bisa ditinggalkan.
a)
Wayang
kulit Jawa tentunya
terbuat dari kulit. Pada umumnya
terbuat dari kulit sapi namun ada juga yang dibuat
dari kulit kambing. Proses pembuatannya pun cukup lama, mulai dari direndam lalu di gosok
terus dipentang supaya tidak kusut kemudia dibersihkan bulu-bulunya. Baru
setelah itu diberi pula untuk kemudian ditatah sesuai dengan gambar pola, dan
terakhrir diwarnai. Jadilah wayang hasil kreasi seni pahat dan seni lukis.
b)
Gamelan adalah seperangkat alat musik perkusi dan petik serta gesek yang
mengiringi pagelaran wayang. Jumlahnya sangat banyak. Macam gamelan antara lain
bonang, gambang, gendang, gong, siter, kempul, dll. Gamelan dimainkan secara
bersama-sama membentuk alunan musik yang biasa disebut gending. Inilah seni
kreasi musik dalam pagelaran wayang.
c)
Kelir adalah layar
lebar yang digunakan pada pertunjukan wayang kulit. Pada rumah Joglo, kelir di
pasang pada bagian ‘pringgitan’. Bagian ini merupakan bagian peralihan
dari pada ranah publik, pendopo dengan ranah privat, ndalem atau nggandok.
Oleh karena itu penonton wayang kulit yang tergolong keluarga, pada umumnya
nonton di bagian dalam ndalem, yang sering dianggep nonton mburi
kelir. Nonton di belakang kelir ini memang benar-benar „wewayangan’, atau
bayang-bayang. Lihat buku „Aspek Kebudayaan Jawa Dalam Pola Arsitektur
Bangunan Domestik dan Publik’ (Subanindyo, 2010). Dari sinilah pengaruh blencong
yang seolah-olah „menghidupkan‟
wayang akan dapat terlihat (lihat: Blencong). Penonton juga tidak
terganggu oleh adanya gamelan. Bagi penonton publik, mereka menonton didepan
kelir, sehingga selain dapat melihat keindahan dari pada peraga wayang itu
sendiri, oleh karena tatah dan sungging-nya, berikut simpingannya,
juga dapat menyaksikan deretan pesinden atau waranggana manakala ada. Sayang,
menyaksikan dari sisi ini selain tak dapat menyaksikan pengaruh blencong, dimana
wayang seolah-olah menjadi hidup, juga terkadang terhalang oleh gamelan,
terutama gayor untuk kempul dan gong.
d)
Debog adalah batang pisang yang digunakan untuk
menancapkan wayang (simpingan). Di simping artinmya dijajar. Baik yang dimainkan maupun yang yang dipamerkan (display),
digunakan ‘debog’. Barang tentu
untuk „menancapkan‟
wayang yang di-display juga ada aturan-aturan tertentu. Mana wayang yang
harus ada disebelah kanan ki dalang, mana pula yang harus berada disebelah
kirinya. Tugas ‘menyimping’ ini sesungguhnya tidak terbatas hanya
memasang wayang yang harus di-display, akan tetapi juga mempersiapkan
segala sesuatu keperluan dalang. Misalnya menyediakan wayang-wayang yang akan
digunakan (play) sesuai urutan adegannya, menempatkan kotak wayang
berikut keprak dan kepyaknya, menyediakan cempala,
memasang dan menyalakan maupun mengatur sumbu blencong, lampu minyak
yang khas digunakan dalam pertunjukan wayang kulit, dan lain-lain.
Sekali-sekali juga membantu pelayanan konsumsi (makan minum, rokok) untuk
dalang. Untuk penyiapan ini terkadang dibantu oleh anak-anak muda sebagai salah
satu media pendidikan untuk mengenali dan akhirnya mencintai wayang.
e)
Blencong adalah lampu
minyak (minyak kelapa – lenga klentik) yang khusus digunakan dalam
pertunjukan wayang kulit. Design-nya juga khusus, dengan cucuk (paruh)
dimana diujungnya akan menyala api sepanjang malam. Oleh karenanya seorang
penyimping harus mewaspadai pula keadaan sumbu blencong tersebut
manakala meredup, atau bahkan mati sama sekali.Tak boleh pula api itu berkobar
terlampau besar. Karena akan mobat-mabit. Kalaupun lampu penerangan
untuk dalang pada masa sekarang sudah menggunakan listrik, sesungguhnya ada
fungsi dasar yang hilang atau dihilangkan dari penggunaan blencong tersebut.
Oleh karena blencong adalah lampu minyak, maka apinya akan bergoyang
manakala ada gerakan-gerakan wayang, lebih-lebih waktu perang, yang digerakkan
oleh ki dalang. Ada kesan bahwa ayunan api (kumlebeting agni) dari blencong
itu seolah-olah memberikan nafas dan atau menghidupkan wayang itu sendiri.
Hal yang tak terjadi manakala penerangan menggunakan listrik atau tromak
(petromax). Saat ini blencong sudah jarang digunakan. Dianggap
kurang praktis dan merepotkan.
f)
Kotak wayang berukuran 1,5 meter kali 2,5 meter ini akan merupakan peralatan
dalang selain sebagaimana sudah diutarakan merupakan tempat menyimpan wayang,
juga sebagai ‘keprak’, sekaligus tempat menggantungkan ‘kepyak’.
Dari kotak tempat menyimpan wayang ini juga akan dikeluarkan wayang, baik yang
akan ditampilkan maupun yang akan di-simping. Di-simping artinya
dijajar, di-display di kanan dan kiri layar (kelir) yang
ditancapkan di debog (batang pisang). Kotak akan ditaruh dekat dalang,
di sebelah kiri, dan ditentang yang dekat dalang ditempatkan kepyak.
Sedang kepraknya justru bagian dari kotak yang dipukul dengan cempala.
Keprak adalah suara dhodhogan sebagai tanda, disebut sasmita, dengan
jenis tertentu diwujudkan pemukulan pada kotak dengan menggunakan cempala.
Sementara pada kepyak, berupa tiga atau empat lempengan logam
(kuningan/gangsa atau besi) yang digantungkan pada kotak, juga dipukul dengan cempala,
dalam bentuk tanda tertentu, juga sebagai sasmita atau tanda-tanda untuk –
selain mengatur perubahan adegan – merubah, mempercepat, memperlambat, sirep,
menghentikan atau mengganti lagu (gendhing). Terdengar nada yang berbeda
antara kepyak wayang kulit Jogya dan gaya Surakarta.
g)
Cempala merupakan piranti
sekaligus ‘senjata’ bagi
dalang untuk memberikan segala perintah, baik kepada wiraniyaga, wiraswara maupun
waranggana. Bentuknya sangat artistik, bagaikan meru. Ia bisa
dipukulkan pada kotak, sebagai keprak, bisa pula ke kepyak,
tiga/empat lempengan logam yang digantungkan pada kotak wayang. Pada saat ke
dua tangan dalang sedang memegang wayang – dan ini yang unik – maka tugas untuk
membunyikan keprak maupun kepyak, dengan tetap menggunakan cempala,
dilakukan oleh kaki kanan ki dalang. Cempala – dengan desain sedemikian
rupa itu – akan dijepit di antara ibu jari dan jari telunjuk berikutnya.
Menggunakan cempala memerlukan latihan untuk memperoleh tingkatan
ketrampilan tertentu. Memukul kotak dengan cempala, Ki Dalang dapat
memilih berbagai kemungkinan pembangun suasana dengan dhodhogan, seperti
ada-ada, pathetan, kombangan. Dapat pula sebagai perintah kepada
karawitan untuk mengawali, merubah, sirep, gesang atau menghentikan
gamelan. Juga dapat digunakan untuk memberikan ilustrasi adegan, seperti suara
kaki kuda, suara peperangan dan lain-lain. Artinya, ketika ke dua belah tangan
ki dalang sedang memainkan wayang, maka keprak atau kepyak dapat
juga berbunyi. Suatu keprigelan yang jarang dapat dilihat oleh para
penonton wayang, karena biasanya ia sedang asyik mengikuti adegan yang
ditampilkan di kelir (layar). Padahal untuk mencapai tingkat keprigelan
tersebut, seorang dalang harus melakukan latihan-latihan yang intensif. Betapa
tidak, keempat anggota badan, tangan dan kaki harus terus bergerak, sementara
pikiran dan pandangan terfokus pada apa yang dilakukannya di layar / kelir.
2. Unsur Manusia
Dalang, penyimping, penabuh, dan sinden adalah orang-orang yang berperan
penting dalam kelancaran dan keberhasilan sebuah pagelaran wayang. Mereka
adalah orang-orang yang memiliki kemahiran khusus dalam bidangnya
masing-masing. Berkat kemahiran khusus tersebut, terkadang mereka tidak bisa
digantikan oleh sembarang orang.
a) Dalang adalah sutradara, pemain, artis, serta tokoh sentral dari pada suatu
pertunjukan wayang. Tanpa dalang, maka pertunjukan wayang itu tidak ada.
Apalagi untuk dalang pada pertunjukan wayang kulit. Komunikasi antara dalang
dengan unit pendukung, perlengkapan dan peralatan pertunjukan wayang merupakan
komunikasi yang unik. Melalui segenap indera yang dimilikinya, ia berkomunikasi
dengan kompleksitas orang dan peralatan yang lazim digunakan dalam suatu
pertunjukan wayang. Tanpa suatu skenario yang dipersiapkan terlebih dahulu,
namun wayang tampil secara spontan, kompak dan tidak pernah mengalami ‘out
of order’, semalam suntuk. Sungguh suatu bentuk teater yang „aneh‟ karena meskipun tanpa suatu skenario - padahal dalang dapat
memilih beratus lakon atau cerita baku (babon-pakem), carangan, anggitan
(sanggit) – tontonan dapat berjalan mulus dari jejeran sampai tancep
kayon.
b) Penyimping adalah orang yang membantu dalang dalam
menyiapkan wayang yang di jajar (disimping) pada debog (simpingan). Tugas ‘menyimping’ ini sesungguhnya tidak terbatas hanya
memasang wayang yang harus di-display, akan tetapi juga mempersiapkan
segala sesuatu keperluan dalang. Misalnya menyediakan wayang-wayang yang akan
digunakan (play) sesuai urutan adegannya, menempatkan kotak wayang
berikut keprak dan kepyaknya, menyediakan cempala, memasang
dan menyalakan maupun mengatur sumbu blencong, lampu minyak yang khas
digunakan dalam pertunjukan wayang kulit, dan lain-lain. Sekali-sekali juga
membantu pelayanan konsumsi (makan minum, rokok) untuk dalang. Untuk penyiapan
ini terkadang dibantu oleh anak-anak muda sebagai salah satu media pendidikan
untuk mengenali dan akhirnya mencintai wayang.
c) Panjak adalah orang yang bertugas memainkan gamelan.
Orang-orang yang bertugas sebagai penabuh gamelan harus mempunyai kemahiran
khusus dalam memainkan lagu (gendhing) sesuai dengan permintaan si dalang. Permintaan
si dalang tentunya tidak verbalistik, namun penabuh gamelan diharuskan memahami
isi cerita/lakon wayang dan gendhing yang dimainkan hendaknya diselaraskan
dengan lakon cerita wayang. Hal inilah menuntut ketajaman intuisi bagi penabuh
gamelan dalam pagelaran wayang, karena dalam pagelaran wayang tidak disediakan
notasi musik dalam memainkan gamelan. Semuanya menggunakan intuisi seniman.
d) Waranggana adalah penyanyi wanita dalam seni karawitan yang
dimainkan dalam pagelaran wayang kulit. Lazim juga disebut pesinden. Penyanyi
ini selain harus mempunyai kemahiran dalam menyanyi dengan suara yang merdu,
namun juga ketahanan fisik yang prima. Hal ini diperlukan karena biasanya
pagelaran wayang kulit itu dilaksanakan semalam suntuk. Tentu harus mempunyai
fisik yang sehat dan kuat untuk melantunkan lagu-lagu jawa serta menahan kantuk
mulai senja hingga pagi hari.
15 komentar:
ijin copas....
ijin Copas
ijin Copas
Kurang lengkap mas penjelasanya
Kurang lengkap mas penjelasanya
seharusnya memakai bahasa jawa agar lebih memperlihatkan budaya kita ;)
Sekali pertunjukan wayang itu menghabiskan berapa liter minyak tanah untuk mengisi blencongnya? Terima kasih.
Sekali pertunjukan wayang itu menghabiskan berapa liter minyak tanah untuk mengisi blencongnya? Terima kasih.
sumbernya darimana ya mas ?
izin copas mas. terima kasih
Pujakesuma nyimak..
Tempatnya itu apa kak?dibales dong
Makasih
Tempatnya ya wadah
Fungsinya kepyak apa??
Posting Komentar